Blog

Thursday, May 15, 2014

Biografi WS Rendra dan Analisisnya



Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo. Lahir di Kampung Jayengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada Kamis Kliwon, 7 November 1935, pukul 17.05 WIB.
Willy, begitu Rendra akrab disapa, ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmojo, seorang guru bahasa Indonesai dan Jawa Kuno. Leluhur ayahnya dahulu para Tumenggung jago perang dan guru-guru bela diri. Rendra beribukan Raden Ajeng Ismadillah, anak seorang wedana keraton yang mengurus minuman dan kalender.

Jalan di depan rumahnya disebut patehan, tempat teh. Sebagai ahli kalender, kakek Rendra itu paham sekali akan pitungan weton, wuku, dan sebagainya. Ia gemar mencatat berbagai suluk pedalangan-narasi puitis dalang wayang kulit dalam berbagai adegan.
Masa kanak-kanak dan remajanya sangat erat hubungannya degan rumah di Jalan Baluwarti Kulon Nomor 44 itu. Di Kampung Grogolan, abangnya, Subagyo, meninggal karena tifus, Rendra juga terkena tetapi ia selamat. Waktu itu ia baru berusia empat tahun, dan keluarga Brotoatmojo segera pindah dari Grogolan ke Jalan Baluwarti Kulon. Kesehatannya pulih dengan cepat, dan ayahnya bersiap-siap memasukkannya ke TK di Susteran Fransiskan.
Eyangnya menginginkannya masuk sekolah modern yang dasar kejawaaannya sangat kuat itu dinilai oleh Brotoatmojo sebagai lembaga pendidikan yang masih melestarikan feodalisme. Akhirnya, Willy masuk TK Marsudirini milik Yayasan Kanisius, yang dikelola Suster Fransiskan dari Misi Katolik Belanda.
Di rumah, Rendra diasuh dan dididik oleh seorang kerabat yang disebutnya sebagai Mas Janadi, cucu dari selir Eyang Sosrowinot. Ia diajari olah “kesadaran pancaindra”, “kesadaran pikiran”, dan “kesadaran naluri”.
Sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara, kakaknya meninggal sewaktu masih kecil, jadilah Rendra anak sulung. Dari tujuh orang adiknya. Walaupun nakal, ia juga bisa membimbing adik-adiknya di masa sulit, waktu itu ada clash dengan Belanda, ia menjadi dewa penyelamat keluarganya. Dengan segala cara, di tengah suasana perang, ia berusaha mendapatkan beras, yang waktu itu sulit didapat. Rendra sadar, adik-adiknya yang masih kecil perlu makan.

Berasal dari keluarga Katolik Jawa, ketika masuk Islam 1970, namanya diganti menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Rendra sering membuat ayahnya marah dengan sengaja bermain di alun-alun sampai malam, atau tidak tidur siang padahal diharuskan tidur. Akibat sering bentrok dengan ayahnya, Rendra jadi suka kabur dari rumah. Ismadillah, ibunya, yang selalu menjadi juru damai. Ismadillah merupakan figur seorang ibu yang punya pengertian mendalam terhadap anaknya yang berjiwa seniman. Bagi Rendra, ibunya adalah lambang kebebasan, kasih, dan pengertian.
Rasa cintanya yang mendalam pada ibunya selalu diungkapkan dalam puisi-puisinya. Kumpulan sajaknya Balada Orang-Orang Tercinta dipersembahkannya untuk ibunya. Tertulis di situ: kepada wanita yang paling mencintai saya, yaitu Ismadillah, ibuku. Suatu kali ia juga pernah meminta ibunya untuk mendoakannya agar menjadi orang yang terkenal.
Dari ibunya, Rendra belajar tentang kebudayaan tradisonal Jawa, seperti berpuasa, berendam, bicara sesuai napas, juga lagu-lagu rakyat temabng dolanan. Ibunya juga mengajarkan bagaimana mempertajam pancaindra agar dapat menginterpretasikan getaran-getaran yang diterimanya untuk kemudian langsung diucapkan, tanpa perlu memikirkan strategi apa pun.
Tidak hanya puisi yang ditulisnya, juga drama dan artikel lain. Ketika di kelas II SMP ia mementaskan drama karangannya. Naskah dramanya “Orang-Orang di Tikungan Jalan” pada 1954 memenangi hadiah pertama sayembara drama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Walau sudah menulis sajak sejak SMP, sajaknya baru dipublikasikan untuk kali pertama ketika ia sudah di SMA. Itu pun berkat sahabat dan teman sekelasnya, D.S Mulyanto, yang rajin mengumpulkan sajak-sajak yang ditulis Rendra dan mengirimkannya ke majalah Siasat tahun 1952. Sejak saat itu, ia mulai terlibat sungguh-sungguh dalam kesusastraan.
Saat SMA (1952) di Bruderan Solo, ia ditekankan belajar menganalisis. Bahasa adalah pelajaran yang paling disukai Rendra, apalagi logika bahasa: membeda-bedakan perkara, analogi, asosiasi, dan lain-lain. Rendra mengaku paling bodoh dalam matematika. Nilai berhitungnya selalu buruk. Inilah yang membatalkan niatnya masuk ke akademi militer, padahal cita-citanya dari kecil ingin menjadi jenderal.
Kelas dua SMA, Rendra diminta RRI Solo untuk mengasuh acara timbangan buku dari luar negeri. Acara yang diberi nama “Buku, Ilmu dan Seni” itu disusun dan dibawakannya sendiri. Dalam acara ini ia pernah menganalisis karya-karya: Steinbeck, Hemmingway, Don Passos, dan sebagainya.
Setamat SMA pada 1955, Rendra kuliah di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa itu Rendra tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenyangkan dirinya dengan bacaan-bacaan dari perpustakaan di fakultasnya. Ia mulai menyukai Sheridan, Goldsmith, Congreve, Shakespeare, dan lain-lain.

Pada 1957, terbitlah kumpulan sajaknya yan pertama: Balada Orang-Orang Tercinta, sajak-sajak yang ditulisnya di SMA. Ia merupakan satu-satunya penyair yang menulis dengan gaya epik dan balada, sementara penyair lain waktu itu bergaya ekspresif dan lirik. Tahun itu juga, dengan kumpulan sajaknya ini, Rendra menerima hadiah sastra nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, sebagai salah satu penyair terbaik periode 1955-1956.
Sudah sejak sajaknya yang pertama, nada dasar karya Rendra selalu ditandai dengan teriakan orang-orang terinjak, minta tolong, pemberontakan terhadap ancaman kehidupan, kesaksian demi keselamatan kehidupan. Untuk temanya Rendra memang setia pada dirinya, tetap menjadi dirinya.
Dari awal pertumbuhannya sebagai penyair, Rendra sangat menghargai alam, di luar dan di dalam, yang begitu di hayatinya. Waktu itu baginya, kesadaran alam berada di luar kesadaran kebudayaan sehari-hari, di luar akal sehat.
Perasaanya yang dialun gelombang asmara, disusul rasa tanggung jawab pada istri dan anak, membuat Rendra lebih memahami penderitaan manusia dan penderitaan diri sendiri, tetapi menghayati potensi dan keterbatasan manusia. Ia sadar, manusia tak bisa menghindar dari dosa dan penderitaan.
Pada fase berikutnya, Rendra mulai tergugah akan masalah sosial, ekonomi dan politik yang waktu itu sedang bergolak di masyarakat Indonesia. Tetapi, dirinya masih asyik dengan alam mistiknya sehingga penghayatannya tidak tuntas. Ia juga belum menguasai sarana untuk mewujudkan kesadaran barunya itu. Hasilnya tampak seperti dalam Sajak-Sajak Sepatu Tua. Namun, paling tidak kesadarannya itu telah berhasil mendorongnya untuk introspektif dalan hidupnya. Ia mulai sadar posisinya sebagai penyair di salam masyarakat.
Rendra mulai memunculkan tema sosial dalam sajak-sajaknya. Namun ternyata ia belum mampu merumuskannya dengan baik. Sajak-sajak dalam Blues untuk Bonnie yang terbit kemudian, lebih mempersoalkan moral. Dibantu dengan pengalaman mistik dan pemahamannya akan filsafat manusia, sajak-sajaknya, terutama “Khotbah” dan “Nyanyian Angsa” tampak didasari moral dan akal sehat.
Ia sadar, pengertian analisis struktural penting untuk mencapai relevansi politis dari sajak-sajak sosialnya. Isi gagasannya kali ini memerlukan sarana estetika yang lain. Metafora simbiolistis dan surealistis sudah tidak sesuai lagi. Usaha artistiknya ini rupanya berhasil dengan lahirnya sajak-sajak yang terkumpul dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (sebagian dari kumpulan sajak ini karena dilarang terbit di Indonesia waktu itu diterbitkan kali pertama di Belanda di bawah bendera “Pamplet Penyair”)
Rendra pun ingin agar kesaksiannya itu didengar orang. Baginya, puisi adalah untuk didengar. Sudah sejak SMA, Rendra tahu kalau pembacaan puisi bisa menjadi suatu pertunjukkan seni. Dengan suaranya yang bagus dan bakat aktingnya yang hebat, pembacaan sajak berhasil dibuatnya jadi menarik.
Selain di negeri sendiri, Rendra juga beberapa kali diundang ke Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Jepang, India untuk membacakan puisi-puisinya. Sajak-sajaknya pun banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Urdu.
Rendra mendirikan Study Grup Drama Yogya bersama-sama Arifin C.Noer, Deddy Sutomo, Parto Tegal, dan lain-lain. Mereka mementaskan drama, kebanyakan terjemahan seperti karya Bernard Shaw, Chekov, Sophocles, Eugene Ionesco. Tapi ada juga karangan Rendra sendiri, seperti “Cinta dalam Luka”.
Pementasan Grup Yogya ini pada mulanya kurang menarik perhatian karena yang mereka bawakan adalah drama-drama yang bersifat problem lebih serius, itulah sebabnya bila Rendra kekurangan untuk membayar honor para pemainnya, ia tak jarang menjual apa saja barang miliknya. Ia ingin meyakinkan pemain-pemainnya bahwa mereka bisa hidup dari bermain drama.
Pada 1964, Rendra mendapat undangan untuk mengikuti seminar sastra di Amerika Serikat. Dua bulan di Harvard University dan dua bulan keliling Amerika Serikat, ia kemudian mendapat beasiswa untuk belajar di American Academy of Dramatic Arts. Akademi ini terkenal dengan menelurkan aktor-aktor berbakat seperti Kirk Douglas dan Grace Kelly. Pulang dari AS pada 1967, Rendra didatangi teman-temannya yang ingin belajar seni drama antara lain Azwar A.N, Bakdi Soemanto, dan Moortri Purnomo. Mereka mulai berlatih bersama dan bertambah anggota seperti Putu Wijaya, Titi Broto, Chaerul Umam, dan lain-lain.
Kemudian muncul Bengkel Teater di Jakarta pada 1968 secara tidak sengaja. Mereka diminta untuk menghibur tamu-tamu kebudayaan dari Singapura di Balai Budaya. Rendra dan kawan-kawan muncul dengan model pertunjukkan teater yang tidak biasa. Drama yang disajikan Rendra itu lebih banyak menampilkan gerak dan improvisasi, tapi hemat dengan kata-kata. Dengan Mini Katanya itu, Rendra seakan menuntut intuisi dan kemampuan penonton untuk berimajinasi. Mini Katanya: Bib Bob, Piiip, Di Manakah Kau Saudaraku?  Menjadi nomor-nomor pendek yang terkenal sesudah itu.
Pada tahun 1970-an sampai 1978-Bengkel Teater cukup produktif, satu tahun paling tidak dua pementasan. Ia mementaskan Oedipus Rex-nya Sophocles dengan topeng dan bau kemenyan, Macbeth-nya Shakespeare dengan surjan dan pedang kayu, atau Hamlet­ dengan jas, Kasidah Barzanji adalah adonan dari syair, tari dan nyanyi, sedangkan Antigone dibawakannya dengan gaya silat Cina. Tak mengherankan bila tiap pementasannya, penonton datang berbondong-bondong.
Kecuali pengolahan panggungnya yang menarik, lakon dramanya sendiri terkadang menggelitik dan menyindir, bahkan berbau protes. Mastodon dan Burung Kondor, Kisah Perjuangan Suku Naga, Sekda, dan Panembahan Reso adalah drama-dramanya yang penuh protes. Namun, drama-drama seperti ini justru membawa kesulitan: dilarang untuk dipentaskan, Lysistrata dan Oidipus Berpulang pernah kena larangan.
Dalam pidatonya waktu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta 1975, Rendra mengatakan bahwa sandiwara-sandiwaranya tidak lebih dari sebuah goro-goro, ia melancarkan kritikan yang menginginkan keadilan yang merata, tapi tidak menyarankan perubahan kekuasaan.
Bersama dengan mulai aktifnya kembali Rendra, setelah larangan rezim Orde Baru longgar, Bengkel Teater pun ikut bangkit dan ditandai dengan selamatan pada akhir Januari 1986 sekaligus menyongsong pementasan Panembahan Reso. Kalau sebelumnya disebut Bengkel Teater Yogya, maka mulai di Depok itu namanya menjadi Bengkel Teater Rendra.
Sejak 1987, Bengkel Teater Rendra berpindah ke Desa Cipayung Jaya, Depok, dan tempat seluas 3 hektare lebih ini dikenal sebagai Kampus Bengkel Teater Rendra. Dari kampus ini lahir karya drama Selamatan Anak-Cucu Sulaiman (The Retual of Solomon’s Children) dipentaskan di New York, Jepang dan Korea Selatan. Juga pentas Buku Harian Seorang Penipu adaptasi dari penulis Alexander Ostrovsky di Gedung Kesenian Jakarta 1989. Drama Kereta Kencana terjemahan bebas dari Les Chaises dari Eugene Ionesco di Graha Bhakti Budaya, TIM 1997. Dan 2005 mementaskan drama Sobrat karya Arthur S. Nalan di TIM Jakarta.
Rendra yang dijuluki Burung Merak dari Parangtritis ini, di Yogyakarta dulu pernah rukun dengan tiga istri dalam satu rumah. Sunarti yang dinikahinya pada 1959, Sitoresmi pada 1970, dan Ken Zuraida pada 1976. Tapi tinggal Ida, Sunarti minta cerai pada 1981 dan Sitoresmi bahkan dua tahun sebelumnya. Sitoresmi dan Ida sebelum menjadi istri Rendra tadinya adalah anggota Bengkel Teater.
Dari ketiga istrinya ini Rendra mendapat sebelas anak. Lima dari Sunarti: Teddy, Andre, Daniel, Samuel, dan Klara Sinta; dari Sitoresmi: Yonas, Sarah, Naomi, Rachel Saraswati; dan dari Ida: Isaias Sadewa (Essis) dan Maryam Supraba.
Di Kampus Bengkel Teater Rendra ini pula ia menyediakan areal untuk pemakaman. Sudah 9 seniman dan tokoh pergerakan Indonesia dimakamkan di situ. Areal pemakaman yang dipilih sendiri oleh Rendra ini akhirnya menjadi tempat peristirahatan abadi W.S Rendra. Rendra meninggal 6 Agustus 2009, Kamis malam Jumat dan dimakamkan seusai shalat Jumat, 7 Agustus 2009. (Edi Haryono, dari berbagai sumber, a.l majalah Matra dan Intisari)

Sumber penulisan:
Biografi ini dinukil dari antologi puisi Doa untuk Anak Cucu terbit tahun 2013 halaman 61-94.
Situs Wikipedia pada halaman http://id.wikipedia.org/wiki/W._S._Rendra



Analisis Biografi WS Rendra
1.      Nama lengkap                         : Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo.
2.      Tempat, tanggal lahir              : Kampung Jayengan, Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935
3.      Latar belakang keluarga          :
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Ismadillah serta berasal dari keluarga Katolik Jawa. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo; sedangkan ibunya adalah anak seorang wedana keraton yang mengurus minuman dan kalender. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya. Setelah menikah, pindah agama menjadi Islam.
4.      Riwayat pendidikan                :
a.       TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.         
b.      SD s/d SMU Katolik, SMA Santo Yosef (Bruderan) Solo - Tamat pada tahun 1955.
c.       Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tamat.
d.      Beasiswa American Academy of Dramatical Art America (1964 - 1967).
5.      Cita-cita: menjadi jenderal dan belajar di Akademi Militer
6.      Pekerjaan: penyair dan aktor
7.      Karya-karya:
a.       Drama
o   Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
o   Bib Bob (Teater Mini Kata) - 1967
o   Sekda (1977)
o   Piiip
o   Di Manakah Kau Saudaraku?
o   Mastodon dan Burung Kondor (1972)
o   Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
o   Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
o   Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophocles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
o   Lysistrata (terjemahan)
o   Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophocles)
o   Antigone (terjemahan dari karya Sophocles)
o   Kasidah Barzanji
o   Panembahan Reso (1986)
o   Kisah Perjuangan Suku Naga
o   Selamatan Anak-Cucu Sulaiman (The Retual of Solomon’s Children)
o   Buku Harian Seorang Penipu (adaptasi dari penulis Alexander Ostrovsky)
o   Kencana (terjemahan bebas dari Les Chaises)
o   Sobrat (karya Arthur S. Nalan)
b.      Kumpulan Sajak/Puisi
o   Ballada Orang-orang Tercinta (1957)
o   Blues untuk Bonnie
o   Sajak-sajak Sepatu Tua
o   Pamphleten van een Dichter
o   Potret Pembangunan dalam Puisi
o   Doa Untuk Anak-Cucu (2013, kumpulan puisi Rendra yang belum pernah dipublikasikan kemudian dibukukan oleh penerbit Bentang, Yogyakarta)

8.      Prestasi dan penghargaan                    :
o   Pemenang Sayembara Drama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1954)
o   Hadiah sastra nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, sebagai salah satu penyair terbaik periode 1955-1956.
o   Hadiah Akademi Jakarta (1975)

9.      Hal yang dapat diteladani:
a.       Penyayang dan tanggung jawab kepada keluarga: “Walaupun nakal, ia juga bisa membimbing adik-adiknya di masa sulit, segala cara, di tengah suasana perang dengan Belanda, ia berusaha mendapatkan beras, yang waktu itu sulit didapat. Rendra sadar, adik-adiknya yang masih butuh makan.”
b.      Minta doa restu kepada orang tua: “Suatu kali ia juga pernah meminta ibunya untuk mendoakannya agar menjadi orang yang terkenal.”
c.       Sadar akan kelemahannya: “Nilai berhitungnya selalu buruk. Inilah yang membatalkan niatnya masuk ke akademi militer, padahal cita-citanya dari kecil ingin menjadi jenderal.”
d.      Memanfaatkan kesempatan: “Selama menjadi mahasiswa itu Rendra tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenyangkan dirinya dengan bacaan-bacaan dari perpustakaan di fakultasnya”
e.       Kuat pendirian: “Nada dasar karya Rendra selalu ditandai dengan teriakan orang-orang terinjak, minta tolong, pemberontakan terhadap ancaman kehidupan, kesaksian demi keselamatan kehidupan. Untuk temanya Rendra memang setia pada dirinya, tetap menjadi dirinya.”
f.       Menghargai alam: “Dari awal pertumbuhannya sebagai penyair, Rendra sangat menghargai alam, di luar dan di dalam, yang begitu di hayatinya.”
g.      Peka dan religius: “Disusul rasa tanggung jawab pada istri dan anak, membuat Rendra lebih memahami penderitaan manusia. Ia sadar, manusia tak bisa menghindar dari dosa dan penderitaan.”
h.      Pandai mengolah bakat: “Sudah sejak SMA, Rendra tahu kalau pembacaan puisi bisa menjadi suatu pertunjukkan seni. Dengan suaranya yang bagus dan bakat aktingnya yang hebat, pembacaan sajak berhasil dibuatnya jadi menarik.”
i.        kritis terhadap keadaan sekitar: Dalam pidatonya waktu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta 1975, Rendra mengatakan bahwa sandiwara-sandiwaranya tidak lebih dari sebuah goro-goro, ia melancarkan kritikan yang menginginkan keadilan yang merata, tapi tidak menyarankan perubahan kekuasaan.
j.        Bangkit dari keterpurukan: “Bersama dengan mulai aktifnya kembali Rendra, setelah larangan rezim Orde Baru longgar, Bengkel Teater pun ikut bangkit dan ditandai dengan selamatan pada akhir Januari 1986.”

10.  Hal yang menarik:
a.       Kelas dua SMA, Rendra diminta RRI Solo untuk mengasuh acara timbangan buku dari luar negeri. Acara yang diberi nama “Buku, Ilmu dan Seni” itu disusun dan dibawakannya sendiri.
b.      Puisi Rendra berhasil dipublikasikan ke media massa untuk pertama kalinya di majalah Siasat pada 1952 usia 17.
c.       Cintanya yang mendalam pada ibunya selalu diungkapkan dalam puisi-puisinya, seperti kumpulan sajak Balada Orang-Orang Tercinta
d.      Kumpulan puisinya Balada Orang-Orang Tercinta menunjukkan bahwa Rendra merupakan satu-satunya penyair yang menulis dengan gaya epik dan balada, sementara penyair lain waktu itu bergaya ekspresif dan lirik.
e.       Tidak hanya karya yang bersifat asmara, Rendra mulai tergugah akan masalah sosial, ekonomi dan politik yang waktu itu sedang bergolak di masyarakat Indonesia.
f.       Rendra pun ingin agar kesaksiannya itu didengar orang, baginya, puisi adalah untuk didengar.
g.      Selain di negeri sendiri, Rendra juga beberapa kali diundang ke Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Jepang, India untuk membacakan puisi-puisinya.
h.      Sajak-sajak Rendra banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Urdu.
i.        Bila Rendra kekurangan untuk membayar honor para pemain dramanya, ia tak jarang menjual apa saja barang miliknya. Ia ingin meyakinkan pemain-pemainnya bahwa mereka bisa hidup dari bermain drama.
j.        Rendra yang dijuluki Burung Merak dari Parangtritis ini, di Yogyakarta dulu pernah rukun dengan tiga istri dalam satu rumah.
k.      Di Kampus Bengkel Teater Rendra pula ia menyediakan areal untuk pemakaman, areal pemakaman yang dipilih sendiri oleh Rendra ini akhirnya menjadi tempat peristirahatan abadi W.S Rendra.

Semoga bermanfaat :) aamiin..

2 comments:

  1. Menarik tulisannya Bu, jadi tahu mengenai almarhum WS Rendra. Semoga almarhum damai di sisi Allah SWT.

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin...
      "Bu"? terima kasih sudah memanggil demikian ^^

      Delete

Hello, thank your for the comment!
Have a great day! :)