Willybrordus Surendra
Bhawana Rendra Brotoatmojo. Lahir di Kampung Jayengan, Kota Surakarta, Jawa
Tengah, pada Kamis Kliwon, 7 November 1935, pukul 17.05 WIB.
Willy, begitu Rendra
akrab disapa, ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmojo, seorang guru
bahasa Indonesai dan Jawa Kuno. Leluhur ayahnya dahulu para Tumenggung jago
perang dan guru-guru bela diri. Rendra beribukan Raden Ajeng Ismadillah, anak
seorang wedana keraton yang mengurus minuman dan kalender.
Jalan di depan rumahnya
disebut patehan, tempat teh. Sebagai
ahli kalender, kakek Rendra itu paham sekali akan pitungan weton, wuku, dan sebagainya. Ia gemar mencatat berbagai
suluk pedalangan-narasi puitis dalang wayang kulit dalam berbagai adegan.
Masa kanak-kanak dan remajanya
sangat erat hubungannya degan rumah di Jalan Baluwarti Kulon Nomor 44 itu. Di
Kampung Grogolan, abangnya, Subagyo, meninggal karena tifus, Rendra juga
terkena tetapi ia selamat. Waktu itu ia baru berusia empat tahun, dan keluarga
Brotoatmojo segera pindah dari Grogolan ke Jalan Baluwarti Kulon. Kesehatannya
pulih dengan cepat, dan ayahnya bersiap-siap memasukkannya ke TK di Susteran
Fransiskan.
Eyangnya
menginginkannya masuk sekolah modern yang dasar kejawaaannya sangat kuat itu
dinilai oleh Brotoatmojo sebagai lembaga pendidikan yang masih melestarikan
feodalisme. Akhirnya, Willy masuk TK Marsudirini milik Yayasan Kanisius, yang
dikelola Suster Fransiskan dari Misi Katolik Belanda.
Di rumah, Rendra diasuh
dan dididik oleh seorang kerabat yang disebutnya sebagai Mas Janadi, cucu dari
selir Eyang Sosrowinot. Ia diajari olah “kesadaran pancaindra”, “kesadaran
pikiran”, dan “kesadaran naluri”.
Sebagai anak kedua dari
sembilan bersaudara, kakaknya meninggal sewaktu masih kecil, jadilah Rendra
anak sulung. Dari tujuh orang adiknya. Walaupun nakal, ia juga bisa membimbing adik-adiknya di masa sulit,
waktu itu ada clash dengan Belanda,
ia menjadi dewa penyelamat keluarganya. Dengan segala cara, di tengah suasana
perang, ia berusaha mendapatkan beras, yang waktu itu sulit didapat. Rendra
sadar, adik-adiknya yang masih kecil perlu makan.
Berasal dari keluarga
Katolik Jawa, ketika masuk Islam 1970, namanya diganti menjadi Wahyu Sulaiman Rendra.
Rendra sering membuat ayahnya marah dengan sengaja bermain di alun-alun sampai
malam, atau tidak tidur siang padahal diharuskan tidur. Akibat sering bentrok
dengan ayahnya, Rendra jadi suka kabur dari rumah. Ismadillah, ibunya, yang
selalu menjadi juru damai. Ismadillah merupakan figur seorang ibu yang punya
pengertian mendalam terhadap anaknya yang berjiwa seniman. Bagi Rendra, ibunya adalah lambang kebebasan,
kasih, dan pengertian.
Rasa cintanya yang mendalam pada ibunya selalu diungkapkan dalam
puisi-puisinya. Kumpulan sajaknya Balada
Orang-Orang Tercinta dipersembahkannya untuk ibunya. Tertulis
di situ: kepada wanita yang paling mencintai saya, yaitu Ismadillah, ibuku. Suatu kali ia juga pernah meminta
ibunya untuk mendoakannya agar menjadi orang yang terkenal.
Dari ibunya, Rendra
belajar tentang kebudayaan tradisonal Jawa, seperti berpuasa, berendam, bicara
sesuai napas, juga lagu-lagu rakyat temabng dolanan. Ibunya juga mengajarkan
bagaimana mempertajam pancaindra agar dapat menginterpretasikan getaran-getaran
yang diterimanya untuk kemudian langsung diucapkan, tanpa perlu memikirkan
strategi apa pun.
Tidak hanya puisi yang ditulisnya, juga drama dan artikel lain. Ketika
di kelas II SMP ia mementaskan drama karangannya. Naskah dramanya “Orang-Orang
di Tikungan Jalan” pada 1954 memenangi hadiah pertama sayembara drama dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Walau sudah menulis
sajak sejak SMP, sajaknya baru
dipublikasikan untuk kali pertama ketika ia sudah di SMA. Itu pun berkat
sahabat dan teman sekelasnya, D.S Mulyanto, yang rajin mengumpulkan sajak-sajak
yang ditulis Rendra dan mengirimkannya ke majalah Siasat tahun 1952. Sejak saat itu, ia mulai terlibat
sungguh-sungguh dalam kesusastraan.
Saat SMA (1952) di
Bruderan Solo, ia ditekankan belajar menganalisis. Bahasa adalah pelajaran yang
paling disukai Rendra, apalagi logika bahasa: membeda-bedakan perkara, analogi,
asosiasi, dan lain-lain. Rendra mengaku paling bodoh dalam matematika. Nilai berhitungnya selalu buruk.
Inilah yang membatalkan niatnya masuk ke akademi militer, padahal cita-citanya
dari kecil ingin menjadi jenderal.
Kelas dua SMA, Rendra diminta RRI Solo untuk mengasuh acara
timbangan buku dari luar negeri. Acara yang diberi nama “Buku, Ilmu dan Seni”
itu disusun dan dibawakannya sendiri. Dalam acara ini ia pernah menganalisis
karya-karya: Steinbeck, Hemmingway, Don Passos, dan sebagainya.
Setamat SMA pada 1955,
Rendra kuliah di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Selama menjadi
mahasiswa itu Rendra tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenyangkan dirinya
dengan bacaan-bacaan dari perpustakaan di fakultasnya. Ia mulai menyukai
Sheridan, Goldsmith, Congreve, Shakespeare, dan lain-lain.
Pada 1957, terbitlah kumpulan sajaknya yan pertama: Balada Orang-Orang Tercinta, sajak-sajak yang ditulisnya di SMA. Ia
merupakan satu-satunya penyair yang menulis dengan gaya epik dan balada,
sementara penyair lain waktu itu bergaya ekspresif dan lirik. Tahun itu juga,
dengan kumpulan sajaknya ini, Rendra menerima hadiah sastra nasional dari Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional, sebagai salah satu penyair terbaik periode
1955-1956.
Sudah sejak sajaknya
yang pertama, nada dasar karya
Rendra selalu ditandai dengan teriakan orang-orang terinjak, minta tolong,
pemberontakan terhadap ancaman kehidupan, kesaksian demi keselamatan kehidupan.
Untuk temanya Rendra memang setia pada dirinya, tetap menjadi dirinya.
Dari awal
pertumbuhannya sebagai penyair,
Rendra sangat menghargai alam, di luar dan di dalam, yang begitu di hayatinya.
Waktu itu baginya, kesadaran alam berada di luar kesadaran kebudayaan
sehari-hari, di luar akal sehat.
Perasaanya yang dialun gelombang asmara, disusul rasa tanggung jawab
pada istri dan anak, membuat Rendra lebih memahami penderitaan manusia dan
penderitaan diri sendiri, tetapi menghayati potensi dan keterbatasan manusia.
Ia sadar, manusia tak bisa menghindar dari dosa dan penderitaan.
Pada fase berikutnya, Rendra mulai tergugah akan masalah
sosial, ekonomi dan politik yang waktu itu sedang bergolak di masyarakat
Indonesia. Tetapi, dirinya masih asyik dengan alam mistiknya sehingga
penghayatannya tidak tuntas. Ia juga belum menguasai sarana untuk mewujudkan
kesadaran barunya itu. Hasilnya tampak seperti dalam Sajak-Sajak
Sepatu Tua. Namun, paling tidak kesadarannya itu telah berhasil
mendorongnya untuk introspektif dalan hidupnya. Ia mulai sadar posisinya
sebagai penyair di salam masyarakat.
Rendra mulai memunculkan tema sosial dalam sajak-sajaknya. Namun
ternyata ia belum mampu merumuskannya dengan baik. Sajak-sajak dalam Blues untuk Bonnie yang terbit kemudian,
lebih mempersoalkan moral. Dibantu dengan pengalaman mistik dan pemahamannya
akan filsafat manusia, sajak-sajaknya, terutama “Khotbah” dan “Nyanyian Angsa”
tampak didasari moral dan akal sehat.
Ia sadar, pengertian
analisis struktural penting untuk mencapai relevansi politis dari sajak-sajak
sosialnya. Isi gagasannya kali ini memerlukan sarana estetika yang lain.
Metafora simbiolistis dan surealistis sudah tidak sesuai lagi. Usaha
artistiknya ini rupanya berhasil dengan lahirnya sajak-sajak yang terkumpul dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (sebagian dari kumpulan sajak ini
karena dilarang terbit di Indonesia waktu itu diterbitkan kali pertama
di Belanda di bawah bendera “Pamplet Penyair”)
Rendra pun ingin agar kesaksiannya itu didengar orang. Baginya, puisi
adalah untuk didengar. Sudah sejak SMA, Rendra tahu kalau pembacaan puisi bisa
menjadi suatu pertunjukkan seni. Dengan suaranya yang bagus dan bakat aktingnya
yang hebat, pembacaan sajak berhasil dibuatnya jadi menarik.
Selain di negeri sendiri, Rendra juga beberapa kali diundang ke Belanda,
Jerman, Amerika Serikat, Australia, Jepang, India untuk membacakan
puisi-puisinya. Sajak-sajaknya pun banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Jepang, Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Urdu.
Rendra mendirikan Study
Grup Drama Yogya bersama-sama Arifin C.Noer, Deddy Sutomo, Parto Tegal, dan
lain-lain. Mereka mementaskan drama, kebanyakan terjemahan seperti karya
Bernard Shaw, Chekov, Sophocles, Eugene Ionesco. Tapi ada juga karangan Rendra
sendiri, seperti “Cinta dalam Luka”.
Pementasan Grup Yogya
ini pada mulanya kurang menarik perhatian karena yang mereka bawakan adalah
drama-drama yang bersifat problem lebih serius, itulah sebabnya bila Rendra kekurangan untuk membayar
honor para pemainnya, ia tak jarang menjual apa saja barang miliknya. Ia ingin
meyakinkan pemain-pemainnya bahwa mereka bisa hidup dari bermain drama.
Pada 1964, Rendra mendapat undangan untuk mengikuti seminar sastra di
Amerika Serikat. Dua bulan di Harvard University dan dua bulan keliling Amerika
Serikat, ia kemudian mendapat beasiswa untuk belajar di American Academy of
Dramatic Arts. Akademi ini terkenal dengan menelurkan aktor-aktor berbakat
seperti Kirk Douglas dan Grace Kelly. Pulang dari AS pada 1967, Rendra
didatangi teman-temannya yang ingin belajar seni drama antara lain Azwar A.N,
Bakdi Soemanto, dan Moortri Purnomo. Mereka mulai berlatih bersama
dan bertambah anggota seperti Putu Wijaya, Titi Broto, Chaerul Umam, dan
lain-lain.
Kemudian muncul Bengkel
Teater di Jakarta pada 1968 secara tidak sengaja. Mereka diminta untuk
menghibur tamu-tamu kebudayaan dari Singapura di Balai Budaya. Rendra dan
kawan-kawan muncul dengan model pertunjukkan teater yang tidak biasa. Drama
yang disajikan Rendra itu lebih
banyak menampilkan gerak dan improvisasi, tapi hemat dengan kata-kata. Dengan
Mini Katanya itu, Rendra seakan menuntut intuisi dan kemampuan penonton untuk
berimajinasi. Mini Katanya: Bib Bob,
Piiip, Di Manakah Kau Saudaraku? Menjadi nomor-nomor pendek yang terkenal
sesudah itu.
Pada tahun 1970-an sampai 1978-Bengkel Teater cukup produktif, satu
tahun paling tidak dua pementasan. Ia mementaskan Oedipus Rex-nya Sophocles dengan topeng dan bau kemenyan, Macbeth-nya Shakespeare dengan surjan
dan pedang kayu, atau Hamlet dengan
jas, Kasidah Barzanji adalah adonan
dari syair, tari dan nyanyi, sedangkan Antigone
dibawakannya dengan gaya silat Cina. Tak mengherankan bila tiap
pementasannya, penonton datang berbondong-bondong.
Kecuali pengolahan panggungnya yang menarik,
lakon dramanya sendiri terkadang menggelitik dan menyindir, bahkan berbau
protes. Mastodon dan Burung Kondor, Kisah Perjuangan Suku Naga, Sekda, dan Panembahan Reso adalah drama-dramanya
yang penuh protes. Namun, drama-drama seperti ini justru membawa kesulitan:
dilarang untuk dipentaskan, Lysistrata dan
Oidipus Berpulang pernah kena
larangan.
Dalam pidatonya waktu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta 1975,
Rendra mengatakan bahwa sandiwara-sandiwaranya tidak lebih dari sebuah goro-goro, ia melancarkan kritikan yang
menginginkan keadilan yang merata, tapi tidak menyarankan perubahan kekuasaan.
Bersama dengan mulai aktifnya kembali Rendra, setelah
larangan rezim Orde Baru longgar, Bengkel Teater pun ikut bangkit dan ditandai
dengan selamatan pada akhir Januari 1986 sekaligus menyongsong pementasan Panembahan Reso. Kalau sebelumnya
disebut Bengkel Teater Yogya, maka mulai di Depok itu namanya menjadi Bengkel
Teater Rendra.
Sejak 1987, Bengkel Teater Rendra berpindah ke Desa Cipayung Jaya,
Depok, dan tempat seluas 3 hektare lebih ini dikenal sebagai Kampus Bengkel
Teater Rendra. Dari kampus ini lahir karya drama Selamatan Anak-Cucu Sulaiman (The Retual of Solomon’s Children) dipentaskan
di New York, Jepang dan Korea Selatan. Juga pentas Buku Harian Seorang Penipu adaptasi dari penulis Alexander
Ostrovsky di Gedung Kesenian Jakarta 1989. Drama Kereta Kencana terjemahan bebas dari Les Chaises dari Eugene Ionesco di Graha Bhakti Budaya, TIM 1997.
Dan 2005 mementaskan drama Sobrat karya
Arthur S. Nalan di TIM Jakarta.
Rendra yang dijuluki
Burung Merak dari Parangtritis ini, di Yogyakarta dulu pernah rukun dengan tiga
istri dalam satu rumah. Sunarti yang dinikahinya pada 1959, Sitoresmi pada
1970, dan Ken Zuraida pada 1976. Tapi tinggal Ida, Sunarti minta cerai pada
1981 dan Sitoresmi bahkan dua tahun sebelumnya. Sitoresmi dan Ida sebelum
menjadi istri Rendra tadinya adalah anggota Bengkel Teater.
Dari ketiga istrinya
ini Rendra mendapat sebelas anak. Lima dari Sunarti: Teddy, Andre, Daniel,
Samuel, dan Klara Sinta; dari Sitoresmi: Yonas, Sarah, Naomi, Rachel Saraswati;
dan dari Ida: Isaias Sadewa (Essis) dan Maryam Supraba.
Di Kampus Bengkel
Teater Rendra ini pula ia menyediakan areal untuk pemakaman. Sudah 9 seniman
dan tokoh pergerakan Indonesia dimakamkan di situ. Areal pemakaman yang dipilih
sendiri oleh Rendra ini akhirnya menjadi tempat peristirahatan abadi W.S
Rendra. Rendra meninggal 6 Agustus 2009, Kamis malam Jumat dan dimakamkan
seusai shalat Jumat, 7 Agustus 2009. (Edi Haryono, dari berbagai sumber, a.l
majalah Matra dan Intisari)
Sumber penulisan:
Biografi ini dinukil
dari antologi puisi Doa untuk Anak Cucu terbit tahun 2013 halaman 61-94.
Situs Wikipedia pada halaman http://id.wikipedia.org/wiki/W._S._Rendra
Analisis Biografi WS
Rendra
1.
Nama lengkap : Willybrordus Surendra Bhawana Rendra
Brotoatmojo.
2.
Tempat, tanggal lahir : Kampung Jayengan, Solo, Jawa
Tengah, 7 November 1935
3.
Latar belakang keluarga :
Rendra
adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu
Ismadillah serta berasal dari keluarga Katolik Jawa. Ayahnya adalah seorang
guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo; sedangkan
ibunya adalah anak seorang wedana keraton yang mengurus minuman dan kalender. Masa
kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya. Setelah menikah,
pindah agama menjadi Islam.
4.
Riwayat pendidikan :
a. TK
Marsudirini, Yayasan Kanisius.
b. SD
s/d SMU Katolik, SMA Santo Yosef (Bruderan) Solo - Tamat pada tahun 1955.
c. Jurusan
Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta - Tamat.
d. Beasiswa
American Academy of Dramatical Art America (1964 - 1967).
5.
Cita-cita: menjadi jenderal dan belajar
di Akademi Militer
6.
Pekerjaan: penyair dan aktor
7.
Karya-karya:
a. Drama
o
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
o
Bib Bob (Teater Mini Kata) - 1967
o
Sekda (1977)
o
Piiip
o
Di Manakah Kau Saudaraku?
o
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
o
Hamlet (terjemahan dari karya William
Shakespeare, dengan judul yang sama)
o
Macbeth (terjemahan dari karya William
Shakespeare, dengan judul yang sama)
o
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya
Sophocles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
o
Lysistrata (terjemahan)
o
Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan
dari karya Sophocles)
o
Antigone (terjemahan dari karya
Sophocles)
o
Kasidah Barzanji
o
Panembahan Reso (1986)
o
Kisah Perjuangan Suku Naga
o
Selamatan Anak-Cucu Sulaiman (The Retual
of Solomon’s Children)
o
Buku Harian Seorang Penipu (adaptasi
dari penulis Alexander Ostrovsky)
o
Kencana (terjemahan bebas dari Les
Chaises)
o
Sobrat (karya Arthur S. Nalan)
b. Kumpulan
Sajak/Puisi
o
Ballada Orang-orang Tercinta (1957)
o
Blues untuk Bonnie
o
Sajak-sajak Sepatu Tua
o
Pamphleten van een Dichter
o
Potret Pembangunan dalam Puisi
o
Doa Untuk Anak-Cucu (2013, kumpulan
puisi Rendra yang belum pernah dipublikasikan kemudian dibukukan oleh penerbit
Bentang, Yogyakarta)
8.
Prestasi dan penghargaan :
o
Pemenang Sayembara Drama dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (1954)
o
Hadiah sastra nasional dari Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional, sebagai salah satu penyair terbaik periode
1955-1956.
o
Hadiah Akademi Jakarta (1975)
9.
Hal yang dapat diteladani:
a. Penyayang
dan tanggung jawab kepada keluarga: “Walaupun nakal, ia juga bisa membimbing
adik-adiknya di masa sulit, segala cara, di tengah suasana perang dengan
Belanda, ia berusaha mendapatkan beras, yang waktu itu sulit didapat. Rendra
sadar, adik-adiknya yang masih butuh makan.”
b. Minta
doa restu kepada orang tua: “Suatu kali ia juga pernah meminta ibunya untuk
mendoakannya agar menjadi orang yang terkenal.”
c. Sadar
akan kelemahannya: “Nilai berhitungnya selalu buruk. Inilah yang membatalkan
niatnya masuk ke akademi militer, padahal cita-citanya dari kecil ingin menjadi
jenderal.”
d. Memanfaatkan
kesempatan: “Selama menjadi mahasiswa itu Rendra tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk mengenyangkan dirinya dengan bacaan-bacaan dari perpustakaan
di fakultasnya”
e. Kuat
pendirian: “Nada dasar karya Rendra selalu ditandai dengan teriakan orang-orang
terinjak, minta tolong, pemberontakan terhadap ancaman kehidupan, kesaksian
demi keselamatan kehidupan. Untuk temanya Rendra memang setia pada dirinya,
tetap menjadi dirinya.”
f. Menghargai
alam: “Dari awal pertumbuhannya sebagai penyair, Rendra sangat menghargai alam,
di luar dan di dalam, yang begitu di hayatinya.”
g. Peka
dan religius: “Disusul rasa tanggung jawab pada istri dan anak, membuat Rendra
lebih memahami penderitaan manusia. Ia sadar, manusia tak bisa menghindar dari
dosa dan penderitaan.”
h. Pandai
mengolah bakat: “Sudah sejak SMA, Rendra tahu kalau pembacaan puisi bisa
menjadi suatu pertunjukkan seni. Dengan suaranya yang bagus dan bakat aktingnya
yang hebat, pembacaan sajak berhasil dibuatnya jadi menarik.”
i.
kritis terhadap keadaan sekitar: Dalam
pidatonya waktu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta 1975, Rendra
mengatakan bahwa sandiwara-sandiwaranya tidak lebih dari sebuah goro-goro, ia
melancarkan kritikan yang menginginkan keadilan yang merata, tapi tidak
menyarankan perubahan kekuasaan.
j.
Bangkit dari keterpurukan: “Bersama
dengan mulai aktifnya kembali Rendra, setelah larangan rezim Orde Baru longgar,
Bengkel Teater pun ikut bangkit dan ditandai dengan selamatan pada akhir
Januari 1986.”
10.
Hal yang menarik:
a. Kelas
dua SMA, Rendra diminta RRI Solo untuk mengasuh acara timbangan buku dari luar
negeri. Acara yang diberi nama “Buku, Ilmu dan Seni” itu disusun dan
dibawakannya sendiri.
b. Puisi
Rendra berhasil dipublikasikan ke media massa untuk pertama kalinya di majalah
Siasat pada 1952 usia 17.
c. Cintanya
yang mendalam pada ibunya selalu diungkapkan dalam puisi-puisinya, seperti
kumpulan sajak Balada Orang-Orang Tercinta
d. Kumpulan
puisinya Balada Orang-Orang Tercinta menunjukkan bahwa Rendra merupakan
satu-satunya penyair yang menulis dengan gaya epik dan balada, sementara
penyair lain waktu itu bergaya ekspresif dan lirik.
e. Tidak
hanya karya yang bersifat asmara, Rendra mulai tergugah akan masalah sosial,
ekonomi dan politik yang waktu itu sedang bergolak di masyarakat Indonesia.
f. Rendra
pun ingin agar kesaksiannya itu didengar orang, baginya, puisi adalah untuk
didengar.
g. Selain
di negeri sendiri, Rendra juga beberapa kali diundang ke Belanda, Jerman,
Amerika Serikat, Australia, Jepang, India untuk membacakan puisi-puisinya.
h. Sajak-sajak
Rendra banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda,
Inggris, Prancis, Jerman, dan Urdu.
i.
Bila Rendra kekurangan untuk membayar
honor para pemain dramanya, ia tak jarang menjual apa saja barang miliknya. Ia
ingin meyakinkan pemain-pemainnya bahwa mereka bisa hidup dari bermain drama.
j.
Rendra yang dijuluki Burung Merak dari Parangtritis
ini, di Yogyakarta dulu pernah rukun dengan tiga istri dalam satu rumah.
k. Di
Kampus Bengkel Teater Rendra pula ia menyediakan areal untuk pemakaman, areal
pemakaman yang dipilih sendiri oleh Rendra ini akhirnya menjadi tempat
peristirahatan abadi W.S Rendra.
Semoga bermanfaat :) aamiin..
Menarik tulisannya Bu, jadi tahu mengenai almarhum WS Rendra. Semoga almarhum damai di sisi Allah SWT.
ReplyDeleteaamiin...
Delete"Bu"? terima kasih sudah memanggil demikian ^^