Blog

Thursday, May 15, 2014

Geguritan, Pencerahan Jiwa Melalui Sastra




Geguritan, Pencerahan Jiwa Melalui Sastra
Nur Fahmia
Pendahuluan
Ragam keindahan sastra berkembang di dunia. Sastra dunia dilestarikan sebagai produk budaya dan Indonesia termasuk di dalamnya. Indonesia memiliki aneka macam sastra daerah, salah satunya ialah sastra Jawa.

Sastra Jawa dikenal dalam bentuk karya sastra. Satu dari karya sastra yang terkenal ialah puisi Jawa atau disebut geguritan. Geguritan dinikmati dan dihayati melalui tulisan yang mengandung nilai-nilai karakter.
Namun kenyataannya, saat ini penikmat geguritan seperti generasi muda belum begitu berkembang. Muncul pertanyaan mengapa geguritan kurang digandrungi oleh generasi muda. Tidak dapat dipungkiri bahwa kepedulian generasi muda terhadap sastra daerah seperti geguritan mulai memudar.
Sudah menjadi tugas generasi muda untuk melestarikan geguritan sebelum bangsa tetangga mengklaim hak milik harta kita yang berharga ini. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan dibahas tentang geguritan dan cara pelestariannya.
Isi
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta 1976:157) pengertian kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia. Salah satu produk budaya adalah bahasa. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi antarmanusia, artinya bahasa ada sejak manusia ada.
Salah satu bahasa yang ada di dunia adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa digunakan di Pulau Jawa meliputi bagian tengah dan timur.[1] Dari sejumlah daerah tersebut, muncul variasi dialek bahasa, namun perbedaan itu masih berpusat pada pola yang sama dalam sistem kebudayaan Jawa.
Dalam penggunaan bahasa Jawa, terdapat sopan santun atau unggah-ungguh antara penutur dan mitra tutur berdasarkan usia maupun status sosialnya, yaitu ngoko dan krama. Bahasa Jawa ngoko dipakai terhadap orang yang akrab, yang lebih muda, dan lebih rendah status sosial. Sedangkan krama untuk yang belum kenal akrab, sebaya dengan umur, yang lebih tua, serta lebih tinggi status sosial.[2]
Bahasa Jawa pun mengenal sastra. Sastra bermula dari bahasa Sansekerta, yaitu “sas” mengajar dan “tra” alat. Sastra secara harfiah berarti alat untuk mengajar. Karya sastra Jawa terdiri dua jenis, yaitu gagrag lawas (lama) dan gagrag anyar (modern). Gagrag anyar sering disebut sastra Jawa modern. Awalnya, pengarang karya sastra hanya orang-orang terpilih yang disebut pujangga kerajaan. Kemudian, pada sekitar ujung abad ke-19, muncul sastra Jawa modern di mana orang-orang awam (di luar kerajaan) mulai menyajikan karya dengan kebebasan mengungkapkan sesuatu sesuai realita atau kenyataan yang ada.
Salah satu bentuk karya sastra Jawa modern atau gagrag anyar ialah geguritan (puisi). Geguritan gagrag anyar berkembang seiring dengan mekarnya kesusastraan Indonesia merdeka, seperti puisi-puisi karya Chairil Anwar dan WS Rendra. Geguritan melepaskan diri dari aturan-aturan seperti jumlah kata per baris (guru wilangan), jumlah baris per bait (guru bait), dan ketentuan bunyi vokal di suku kata terakhir pada baris (guru lagu). Estetika atau keindahan geguritan disusun melalui pemilihan dan pemilahan kata secara emotif oleh penyair.
Geguritan membicarakan tentang problema kehidupan manusia dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan. Geguritan bermakna tersirat tanpa menggurui. Penyair atau penulis geguritan berusaha menarik simpati dan empati pembaca melalui kata-kata. Nilai-nilai karakter diilustrasikan lewat keteladanan atau kepahlawanan tokoh. Pembaca geguritan dapat menghayati makna geguritan melalui jiwa halus. Kemudian, proses penghayatan inilah yang diharapkan dapat bertransformasi ke dalam perbaikan sikap. Sehingga, geguritan berfungsi sebagai media pencerahan jiwa dan batin bagi pembaca.
Jika di negara Inggris puisi karya Shakespeare menjadi bacaan wajib murid-murid SD karena nilai budaya dan karakternya, geguritan pun patut diterapkan demikian karena mengandung adiluhung atau mutu yang tinggi. Melalui puisi dalam hal ini puisi Jawa atau geguritan, memiliki fungsi sebagai alat untuk mengajarkan karakter serta mencerahkan jiwa dan batin manusia. Maka, geguritan adalah harta emas yang harus disadari dan disosialisasikan kepada generasi muda yang kemudian diiringi usaha pelestarian bersama.
Geguritan diwariskan dari generasi ke generasi. Melestarikan geguritan melalui empat aspek berbahasa, yaitu membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan (menyimak). Melalui pembelajaran di sekolah, siswa dapat membaca geguritan yang ada di buku teks sekolah, menulis geguritan bertemakan lingkungan sekitar, mendeklamasikan geguritan di depan kelas dengan penghayatan, dan menyimaknya. Walau bagaimanapun juga, menikmati suatu geguritan dengan aspek apa saja akan membuka luas cakrawala dan kita ikut berperan aktif dalam menjaga kelangsungan hidup karya berharga ini.
Banyak media cetak yang menerbitkan geguritan, seperti majalah Djaka Lodhang, Panjebar Semangat, Jayabaya, dan surat kabar harian Kedaulatan Rakyat yang memberikan ruang berupa rubrik Mekarsari. Geguritan yang dimuat di media-media tersebut umumnya masih didominasi penyair-penyair senior. Hal tersebut menandakan geguritan masih dianggap sebelah mata oleh generasi muda.
Sebagai generasi muda yang ingin memelihara budaya lokal, penulis mencoba menulis dan mengirimkan geguritan ke media cetak. Lalu, beberapa geguritan penulis berhasil dimuat di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat dan majalah Djaka Lodhang. Salah satu judul geguritan yang sudah terbit adalah Kanca (Teman).
Kanca

ana kala nelangsa
ana kala suka cita
ana kala memala

ana kanca kang apikan lan loma
anane gawe ati tansah bungah
ana kanca kang tumindak ala
anane misuh gawe ati lara

kanca kenthel dadi kabegjan
kanca ala malah kapusan
ati-ati milih kanca
[Nur Fahmia, Majalah Djaka Lodhang, edisi 25 Agustus 2012]
Terjemahan bahasa Indonesia: ada saat kesusahan/ ada saat bahagia/ ada saat menderita// ada teman yang baik hati dan suka berbagi/ hanya membuat hati selalu senang/ ada teman yang berbuat celaka/ hanya marah-marah membuat hati sakit// teman akrab dan baik menjadi suatu keuntungan/ teman yang tidak baik malah menipu/ hati-hati memilih teman//.

Selain mengirimkan geguritan ke media cetak, penulis pernah membantu mengajarkan geguritan kepada teman untuk lomba membaca geguritan. Ketika penulis mencoba mengajarkan geguritan ke teman-teman, mereka menemukan kesukaran dalam mengartikan kata. Kondisi ini menimbulkan konsepsi bahwa menulis geguritan harus selalu menyuplik kata-kata sukar dan asing. Konsepsi tersebut akhirnya terbawa ketika praktik menulis geguritan dan diiringi ketidakberanian menorehkan kata-kata. Memang benar kata-kata diseleksi untuk mengungkapkan keadaan secara tepat, namun dengan bahasa sederhana pun geguritan dapat dikemas secara apik.


Penutup
Geguritan sebagai sarana mengekspresikan keadaan melalui pemilihan kata-kata yang tepat. Geguritan mengandung nilai-nilai karakter generasi muda dan dapat diaplikasikan ke dalam sikap positif. Dengan demikian, telah terbukti bahwa geguritan berfungsi memberi pencerahan untuk jiwa.
Perlunya sosialisasi kepada generasi muda bahwa geguritan merupakan karya berharga yang mesti dilestarikan. Menumbuhkan rasa cinta untuk menjaga geguritan membutuhkan banyak pihak, seperti keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Salah satu upaya untuk mengajak melestarikan geguritan yaitu pengadaan pelatihan geguritan ke generasi muda. Di samping itu, proses sosialisasi geguritan ke sesama teman seusia sebaya dirasa efektif, karena tidak ada rasa sungkan.
Melestarikan geguritan tidak semata-mata agar ia tetap hidup, tetapi berimbas pada proses penyerapan nilai-nilai karakter untuk generasi selanjutnya. Sebab, pribadi yang kuat dipengaruhi oleh karakter yang hebat.
***
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko, dkk. 2011. Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia
-------Dalam Jebakan Kapitalisme.  Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
-------Djambatan.
Poerwadarminta, W.J.S.. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. cet. ke-5.
-------Jakarta: Balai Pustaka
Prabowo, Dhanu Priyo. 2007. Glosarium Istilah Sastra Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Purwadi. 2007. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Soemardjan, Selo, dkk. 1984. Budaya Sastra. Jakarta: Rajawali C.V.
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa (Bausastra
-------Jawa). Yogyakarta: Kanisius.









[1] Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan. hlm. 329
2 Koentjaraningrat. ibid.


0 comments:

Post a Comment

Hello, thank your for the comment!
Have a great day! :)