Geguritan,
Pencerahan Jiwa Melalui Sastra
Nur
Fahmia
Pendahuluan
Ragam keindahan sastra berkembang di dunia.
Sastra dunia dilestarikan sebagai produk budaya dan Indonesia termasuk di
dalamnya. Indonesia memiliki aneka macam sastra daerah, salah satunya ialah
sastra Jawa.
Sastra
Jawa dikenal dalam bentuk karya sastra. Satu dari karya sastra yang terkenal
ialah puisi Jawa atau disebut geguritan.
Geguritan
dinikmati dan dihayati melalui tulisan yang mengandung nilai-nilai karakter.
Namun kenyataannya, saat ini penikmat geguritan seperti generasi muda belum
begitu berkembang. Muncul pertanyaan mengapa geguritan kurang digandrungi oleh
generasi muda. Tidak dapat dipungkiri bahwa kepedulian generasi muda terhadap sastra
daerah seperti geguritan mulai
memudar.
Sudah
menjadi tugas generasi muda untuk melestarikan geguritan sebelum bangsa tetangga mengklaim hak milik harta kita
yang berharga ini. Oleh
karenanya, dalam makalah ini akan dibahas tentang geguritan dan cara pelestariannya.
Isi
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta 1976:157) pengertian kebudayaan
adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia. Salah satu
produk budaya adalah bahasa. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi
antarmanusia, artinya bahasa ada sejak manusia ada.
Salah
satu bahasa yang ada di dunia adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa digunakan di
Pulau Jawa meliputi bagian tengah dan timur.[1] Dari sejumlah daerah tersebut,
muncul variasi dialek bahasa, namun perbedaan itu masih berpusat pada pola yang
sama dalam sistem kebudayaan Jawa.
Dalam
penggunaan bahasa Jawa, terdapat sopan santun atau unggah-ungguh antara penutur dan mitra tutur berdasarkan usia
maupun status sosialnya, yaitu ngoko dan krama. Bahasa Jawa ngoko dipakai
terhadap orang yang akrab, yang lebih muda, dan lebih rendah status sosial.
Sedangkan krama untuk yang belum kenal akrab, sebaya dengan umur, yang lebih
tua, serta lebih tinggi status sosial.[2]
Bahasa
Jawa pun mengenal sastra. Sastra bermula dari bahasa Sansekerta, yaitu “sas”
mengajar dan “tra” alat. Sastra secara harfiah berarti alat untuk mengajar.
Karya sastra Jawa terdiri dua jenis, yaitu gagrag
lawas (lama) dan gagrag anyar
(modern). Gagrag anyar sering disebut
sastra Jawa modern. Awalnya, pengarang karya sastra hanya orang-orang terpilih
yang disebut pujangga kerajaan. Kemudian, pada sekitar ujung abad ke-19, muncul
sastra Jawa modern di mana orang-orang awam (di luar kerajaan) mulai menyajikan
karya dengan kebebasan mengungkapkan sesuatu sesuai realita atau kenyataan yang
ada.
Salah
satu bentuk karya sastra Jawa modern atau gagrag
anyar ialah geguritan (puisi). Geguritan gagrag anyar berkembang seiring dengan mekarnya kesusastraan
Indonesia merdeka, seperti puisi-puisi karya Chairil Anwar dan WS Rendra. Geguritan melepaskan diri dari
aturan-aturan seperti jumlah kata per baris (guru wilangan), jumlah baris per
bait (guru bait), dan ketentuan bunyi vokal di suku kata terakhir pada baris (guru
lagu). Estetika atau keindahan geguritan
disusun melalui pemilihan dan pemilahan kata secara emotif oleh penyair.
Geguritan
membicarakan tentang problema kehidupan manusia dengan sesama manusia, alam,
dan Tuhan. Geguritan bermakna
tersirat tanpa menggurui. Penyair atau penulis geguritan berusaha menarik simpati dan empati pembaca melalui
kata-kata. Nilai-nilai karakter diilustrasikan lewat keteladanan atau
kepahlawanan tokoh. Pembaca geguritan
dapat menghayati makna geguritan melalui
jiwa halus. Kemudian, proses penghayatan inilah yang diharapkan dapat
bertransformasi ke dalam perbaikan sikap. Sehingga, geguritan berfungsi sebagai media pencerahan jiwa dan batin bagi
pembaca.
Jika
di negara Inggris puisi karya Shakespeare menjadi bacaan wajib murid-murid SD
karena nilai budaya dan karakternya, geguritan
pun patut diterapkan demikian karena mengandung adiluhung atau mutu yang tinggi.
Melalui puisi dalam hal ini puisi
Jawa atau geguritan, memiliki fungsi sebagai
alat untuk mengajarkan karakter serta mencerahkan jiwa dan batin manusia. Maka,
geguritan adalah harta emas yang harus
disadari dan disosialisasikan kepada generasi muda yang kemudian diiringi usaha
pelestarian bersama.
Geguritan
diwariskan dari generasi ke generasi. Melestarikan geguritan melalui empat aspek berbahasa, yaitu membaca, menulis,
berbicara, dan mendengarkan (menyimak). Melalui pembelajaran di sekolah, siswa
dapat membaca geguritan yang ada di buku
teks sekolah, menulis geguritan bertemakan
lingkungan sekitar, mendeklamasikan geguritan
di depan kelas dengan penghayatan, dan menyimaknya. Walau bagaimanapun juga, menikmati
suatu geguritan dengan aspek apa saja
akan membuka luas cakrawala dan kita ikut berperan aktif dalam menjaga
kelangsungan hidup karya berharga ini.
Banyak
media cetak yang menerbitkan geguritan,
seperti majalah Djaka Lodhang, Panjebar Semangat, Jayabaya, dan surat kabar harian
Kedaulatan Rakyat yang memberikan ruang berupa rubrik Mekarsari. Geguritan yang dimuat di media-media
tersebut umumnya masih didominasi penyair-penyair senior. Hal tersebut menandakan geguritan masih dianggap sebelah mata
oleh generasi muda.
Sebagai
generasi muda yang ingin memelihara budaya lokal, penulis mencoba menulis dan
mengirimkan geguritan ke media cetak.
Lalu, beberapa geguritan penulis
berhasil dimuat di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat dan majalah Djaka
Lodhang. Salah satu judul geguritan
yang sudah terbit adalah Kanca (Teman).
Kanca
ana kala nelangsa
ana kala suka cita
ana kala memala
ana kanca kang apikan lan loma
anane gawe ati tansah bungah
ana kanca kang tumindak ala
anane misuh gawe ati lara
kanca kenthel dadi kabegjan
kanca ala malah kapusan
ati-ati milih kanca
[Nur Fahmia, Majalah
Djaka Lodhang, edisi 25 Agustus 2012]
Terjemahan bahasa Indonesia:
ada saat kesusahan/ ada saat bahagia/ ada saat menderita// ada teman yang baik
hati dan suka berbagi/ hanya membuat hati selalu senang/ ada teman yang berbuat
celaka/ hanya marah-marah membuat hati sakit// teman akrab dan baik menjadi
suatu keuntungan/ teman yang tidak baik malah menipu/ hati-hati memilih
teman//.
Selain
mengirimkan geguritan ke media cetak,
penulis pernah membantu mengajarkan geguritan
kepada teman untuk lomba membaca geguritan.
Ketika penulis mencoba mengajarkan geguritan
ke teman-teman, mereka menemukan kesukaran dalam mengartikan kata. Kondisi ini menimbulkan
konsepsi bahwa menulis geguritan
harus selalu menyuplik kata-kata sukar dan asing. Konsepsi tersebut akhirnya
terbawa ketika praktik menulis geguritan
dan diiringi ketidakberanian menorehkan kata-kata. Memang benar kata-kata diseleksi untuk mengungkapkan
keadaan secara tepat, namun dengan bahasa sederhana pun geguritan dapat dikemas secara apik.
Penutup
Geguritan sebagai sarana mengekspresikan keadaan
melalui pemilihan kata-kata yang tepat. Geguritan
mengandung nilai-nilai karakter generasi muda dan dapat diaplikasikan ke dalam
sikap positif. Dengan demikian, telah terbukti bahwa geguritan berfungsi memberi pencerahan untuk jiwa.
Perlunya
sosialisasi kepada generasi muda bahwa geguritan
merupakan karya berharga yang mesti dilestarikan. Menumbuhkan rasa cinta untuk
menjaga geguritan membutuhkan banyak
pihak, seperti keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Salah satu upaya
untuk mengajak melestarikan geguritan yaitu pengadaan pelatihan geguritan ke generasi muda. Di samping itu, proses
sosialisasi geguritan ke sesama teman
seusia sebaya dirasa efektif, karena tidak ada rasa sungkan.
Melestarikan
geguritan tidak semata-mata agar ia
tetap hidup, tetapi berimbas pada proses penyerapan nilai-nilai karakter untuk
generasi selanjutnya. Sebab, pribadi yang kuat dipengaruhi oleh karakter yang
hebat.
***
Daftar
Pustaka
Damono, Sapardi Djoko, dkk. 2011. Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia
-------Dalam
Jebakan Kapitalisme. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Koentjaraningrat.
1971. Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Jakarta:
-------Djambatan.
Poerwadarminta, W.J.S.. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. cet. ke-5.
-------Jakarta: Balai Pustaka
Prabowo, Dhanu Priyo. 2007. Glosarium Istilah Sastra Jawa. Yogyakarta:
Narasi.
Purwadi. 2007. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Soemardjan, Selo, dkk. 1984. Budaya Sastra. Jakarta: Rajawali C.V.
Tim
Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus
Basa Jawa (Bausastra
-------Jawa). Yogyakarta:
Kanisius.
0 comments:
Post a Comment
Hello, thank your for the comment!
Have a great day! :)