...terus berlari, berjuang...(foto saat meliput karnaval Kota Magelang untuk SIBEMA-Redaksi Berita SMANSA)-ilustrasi ini nggak nyambung sama cerpen, tapi valuenya tu lari-lari..
Happy reading, and remember: life is going on.
Mencari
Napas
Life
is going on. Jangan berhenti, karena waktu sedang
berlari.
“Ren, kamu kenapa sih?”
Dimas mencegat langkah Rena.
“Aku baik-baik aja,
kok.” Rena mendesah.
Rumah adalah bui. Jeruji
dinding yang mengikat sayap Rena untuk terbang. Tiga kamar yang tegak,
bercakap-cakap sendiri tanpa tegur sapa. Jendela yang terbuka hanya menjadi
tempat burung bertengger dan daun gugur untuk mengintip ketegangan rumah ini.
Sesak. Udara begitu
pengap. Pot-pot bunga kering dan layu. Demikian dataran jiwa Rena yang mulai
gersang. Rena merasa sepi, benar-benar sepi. Entah kepada siapa ia berkeluh
kesah, menumpahkan endapan luka. Hari-harinya terbelenggu kediaman.
“Ibu, kenapa hanya diam
saja?”
“Ibu tidak apa-apa,
Ren.”
Tuhan, mengapa ini harus
terjadi?
***
Dimas penghuni kelas XI
IPA 2 SMA Nusantara. Akhir-akhir ini, ia berusaha mendekati Rena. Walaupun sudah
mengenal Rena sekitar satu tahun lebih, ia merasa belum memahami cewek kutu
buku tersebut.
Rena yang suka
menyendiri ini tidak punya teman
dekat. Padahal, beberapa hari terakhir desas-desus mengenai kasus penangkapan
ayah Rena oleh polisi mulai menyeruak. Dan Dimas tahu benar, pada titik ini,
Rena membutuhkan seorang teman.
Seperti pagi ini, Dimas
menghampiri ruang sebelah kelasnya pada jam istirahat pertama. Dimas mendapati 99%
penduduk kelas XI IPA 3 kabur ke kantin. Berkas sinar matahari yang hangat
menerobos ke celah jendela dan mengantarkan bayangan pohon depan kelasnya.
“Lagi ngapain, Ren?”
Dimas menghambur ke kursi samping kanan Rena.
“Ngetik,” ujar Rena
tanpa mengalihkan pandangan dari layar netbook.
“Cih, cuek amat sih?”
ejek Dimas.
“Wah aku tersanjung.
Selamat, Anda orang kesekian yang bilang aku cuek,” tukas Rena sinis.
Dimas menatap lembar
kerja di monitor Rena. “Tulisanmu lumayan juga, Ren. Hehe..” timpal Dimas. Bola
matanya asyik mengeja cerita Rena.
“Siapa suruh komentar?”
Rena mengeryitkan dahi sedikit dan melirik masam sebentar ke arah Dimas dan
kembali mengetik.
Dimas terus membaca
kalimat-kalimat yang sedang diketik Rena. Tulisan yang disalin dari buku
berwarna biru hasil kerja keras cewek berambut sebahu itu semalam. Cerita
pendek yang harus Rena kirim ke surat kabar lokal di kotanya. Cewek yang
dasarnya introvert dan kini semakin hening tersebut mulai sekarang berusaha
mencari uang jajan sendiri.
Battery
low.
“Dim, bentar deh, aku mau pindah ke bangku Rista di pojokan
kanan deket tembok,” ujar Rena.
“Yah, baru asyik baca
nih, Ren!” sergah Dimas masih melotot di depan deretan huruf-huruf fiksi
karangan Rena.
“Aku belum selesai
ngetiknya tapi bateraiku habis,” ujar Rena dingin.
Tanpa minta persetujuan
Dimas, Rena bergegas mengambil charger dari
dalam laci mejanya dan menuju ke dinding sudut belakang kanan kelas. Rena
mencolokkan charger ke dinding dan
duduk di bangku Rista. Baru saja Rena duduk sambil merapikan meja Rista dan
bersiap mengetik, Rena sadar bahwa ia lupa
membawa buku warna birunya. Mata Rena tertuju pada mejanya beberapa depa
ke depan dari posisinya yang sekarang, dan sial.
“Hei, Dim, balikin.” Rena
berdiri di samping Dimas. Dimas masih duduk di samping kursi Rena dan memegang
buku biru Rena.
“Akhir ceritanya kok
gelap sih? Kamu banget,” kekeh Dimas sambil mendongak ke arah mata Rena.
“Terserah.”
Dimas memerhatikan punggung
Rena yang melangkahkan kaki ke sudut ruang kelas. Dimas tahu Rena sedang dalam
masalah pelik. Dimas ingin menolong Rena, tapi ia tidak tahu caranya.
***
Tidak hanya di kelas, saat
forum ekstrakurikuler jurnalistik pun, Rena sama saja hemat bicara. Di markas
ekstrakurikuler seluas 4 x 3 meter ini, Rena dinobatkan sebagai pemegang rekor
cewek paling tahan diam. Rena merasa tidak masalah dengan cap cewek pendiam
itu.
Sebagai ketua
ekstrakurikuler jurnalistik, Dimas ingin menjaga kekeluargaan dengan celetukan-celetukan
konyol dengan harapan duapuluh anggotanya betah di markas. Berbeda dengan Rena,
ia selalu tenggelam dalam naskah maupun bacaan beberapa sentimeter di depan
wajahnya.
“Ren, ngomong dong,”
Dimas mencoba mencairkan atmosfer ketegangan. Siang itu, kebetulan ada tugas
yang mesti dikerjakan Rena di markas. Dimas bingung jika cuma terus diam berdua
di markas redaksi sekolah ini.
“Emang aku patung?”
Rena menjawab sekenanya.
“Ngobrol kek, ketawa
kek, nggak cuma melototin berita sekolah doang,” Dimas mengamati kerutan dahi
Rena.
“Ini lagi ngerjain
tugas, Dim,” Rena beralasan.
“Tugas sih tugas, masak
nggak liat kanan-kirimu?”
“Liat kok, nggak ada
orang. Cuma kamu yang lagi nggak ada kerjaan,” Rena berkilah tanpa lepas dari
monitornya.
“Duh, Ren, seenggaknya
jadi anak ekskul yang normal lah. Kamu nggak pengen?”
“Kamu mau bilang aku
abnormal?” Rena balik nanya.
“Bukan....maksudku,” Dimas
menggaruk-nggaruk rambut cepaknya.
“Pak Ketua Dimas, udah
selesai upload berita ke situs
sekolah nih. Aku pulang duluan ya,”
Belum sempat Dimas
membalas, Rena buru-buru mengemasi netbook
dan ke tas punggungnya. Rena secepat kilat meninggalkan Dimas sendirian di
markas.
Dimas semakin tidak
paham dengan cewek berkacamata tersebut. Anak buahnya yang paling teliti dan cepat
dalam menyunting ejaan bahasa Indonesia itu bikin Dimas bingung. Awak kapalnya
yang kini sering pulang duluan tanpa alasan.
***
Tiap perjalanan pulang,
Rena melewati pohon mangga milik Pak Edi, sekitar limapuluh meter sebelum
rumahnya. Saat melewati jalan tersebut, Rena terngiang-ngiang akan tragedi
penangkapan ayahnya. Dari bawah pohon mangga, Rena dengan mata lurus ke depan,
melihat ayahnya diborgol oleh kawanan polisi. Mereka meringkus dan membawa
ayahnya entah ke mana. Ibu berteriak memanggil-manggil ayahnya dari beranda
rumah. Kejadian itu berlangsung cepat dan begitu mengikat ingatan Rena.
Sampai sekarang Rena
tak mengerti dan enggan bertanya kepada Ibu tentang ayahnya. Ibu menjadi
sedikit berbicara kepada Rena. Sedangkan kakaknya, Kak Deni, semakin jarang
pulang karena kuliah di luar kota.
Keuangan keluarganya
menipis, Rena merasakan itu. Maka Rena berusaha menulis cerita pendek untuk
surat kabar lokal. Dengan harapan, ia mendapat pemasukan untuk membantu
keuangan keluarga ini. Namun, sudah lima kali ia mengirim naskah ke Magelang
Pos, tapi belum juga dimuat.
Rena menulis karena ia ingin
bebas dari kediaman. Mengungkapkan apa yang ia rasakan tanpa repot ketahuan
orang lain. Mengalirkan segala resahnya di atas kertas. Di langit, bulan pucat
tergantung di balik awan gelap saat Rena larut dalam percakapan fiksinya, ia
dikagetkan oleh dering ponselnya. Tertera nama Dimas di layar...
“Halo, Ren!” Dimas
bersuara bersemangat sekali di ujung sana.
“Halo, Dim, ada apa?”
“Nggak apa-apa,”
“Oh kalo nggak ada
apa-apa, aku matiin deh.”
“Wooiiiiii!!!!!! Kan
aku yang telpon kok kamu yang matiin sih!” Dimas setengah berteriak.
“Komunikasi dua arah
kalo salah satu nggak setuju ya nggak bisa jalan.”
“Iya, iya. Eh besok
pulang sekolah ke ultahnya Silva barengan yuk? Aku diundang nih, Ren.”
“Nggak bisa. Mau ke
kantor koran Magelang Pos.” Sebenernya
karena nggak punya uang buat beli hadiah...
“Ngapain? Kamu nggak setia
kawan sama Silva temen sebangkumu sendiri?” tanya Dimas lembut.
“Nggak,” jawab Rena
dengan cepat.
“Seize the day! Tau ‘kan artinya? Rebutlah hari, Ren! Kapan kamu
punya waktu bahagia buat temenmu? Setidaknya akan ada kenangan tentang seorang
teman!” ungkap Dimas ketus.
Rena paham maksud
Dimas, tapi kini bukan waktu yang tepat untuk bertikai dengan cowok idealis
itu.
KLIK!
***
Esoknya, usai bel
pulang sekolah berbunyi, ia cepat-cepat keluar dari gedung sekolah. Dimas
menyusul Rena sampai-sampai menabrak satpam sekolah yang menyeberangkan Rena.
Sedangkan langkah Rena melewati zebracross
tinggal lima langkah lagi menuju trotoar seberang. Tergopoh-gopoh Dimas
mengikuti langkah cepat Rena.
“Hhhheii Ren! Tunggu!”
Dimas berteriak.
Rena sampai di seberang
menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Ia merasa aneh dengan sebentuk
lelaki yang jelas-jelas semalam Rena menolak ajakannya untuk pergi ke ultah
Silva.
“Ada apa, Dim?”
“Aku ngejar kamu, Reeen,”
nafas Dimas tersengal-sengal.
“Aku ngejar waktu,
Dim.” Rena tak peduli dengan kejaran Dimas.
Rena berjalan lagi.
Rena berjalan cepat dan bahkan kini ia berlari. Dimas langsung mengikuti jejak
Rena. Rena ingin cepat-cepat ke Magelang Pos untuk menumpuk naskah cerpen dan
segera pulang ke rumah. Tadi pagi ibunya tak enak badan dan Rena khawatir
karenanya.
Sepanjang trotoar
mengkilau kena pantulan matahari. Ujung kepala Rena terasa pening, tapi Rena
tak mau kalah dengan hembusan angin panas yang kencang.
Lima
naskah lalu telah gagal, ini yang keenam, semoga kuraih napas!
Daun kering berserakan
dan ranting-ranting meliuk-meliuk. Hambatan lalu-lalang pejalan kaki tak
dihiraukannya. Rena melibas arah menuju satu titik. Dan Dimas mengikutinya.
Tinggal dua meter lagi,
hap! Rena minta izin ke satpam Magelang Pos untuk bertemu dengan redaktur.
Namun, redaktur sedang pergi ke luar kota. Padahal, jika bertemu dengan
redaktur, ada harapan kecil untuk pemuatan naskahnya. Yah, meskipun itu
sepersekian persen harapan.
Akhirnya, Rena
menitipkan amplop coklat berisi naskah keenamnya kepada satpam, seperti yang ia
lakukan kepada lima naskahnya yang belum menetas.
Rena berjalan gontai
dan bibirnya dikerucutkan. Keringat dari keningnya menetes di poninya. Ia
tertunduk sambil memegangi tas ranselnya. Selangkah demi selangkah Rena pulang,
berbalik arah melewati jalan yang tadi tanpa memedulikan Dimas yang berdiri
kepanasan di dekat gerbang kantor.
“Ren,” Dimas berjalan pelan
sejajar dengan Rena.
“Hmm...” Kakinya
menendang-nendang malas kerikil di trotoar.
“Sedih karena nggak
ketemu redaktur?”
“Menurutmu?” pipi Rena
menggembung.
“Ya ampun, jutek bener.
Kenapa nguli kayak gini, Ren?”
“Mencari napas, Dim.
Tapi belum pernah dimuat,” Rena menimba napas dalam-dalam dan mengeluarkannya
dengan perlahan.
***
Sejak pulang dari
kantor Magelang Pos tadi siang, ia teringat selalu akan Rena. Tentang Rena yang
berusaha mencari uang. Lepas dari kantor ayahnya bersama Rena, Dimas kemudian pulang
dan urung pergi ke ultah Silva.
“Pa, cerpen di Magelang
Pos itu Papa mengoordinir bukan?” tanya Dimas malam itu. Usai Dimas membuatkan
secangkir kopi untuk papanya.
“Iya, kenapa, Dim? Kok
tumben nanya, kamu kan doyannya berita, bukan sastra,” papa Dimas menyeruput
kopi bikinan anak lelakinya.
“Papa pernah baca
cerpen karya Rena Prameswari? Coba baca deh, Pa...”
Lalu Dimas menceritakan
masalah kediaman Rena. Papanya tahu tragedi penangkapan ayah Rena pernah
menjadi headline di surat kabar
tempat ia bekerja.
“Kayaknya nggak ada tuh
yang namanya Rena Prameswari. Beberapa hari yang lalu, Papa baca karya Ren
Prawa. Apa mungkin dia? Karena pada nulis pakai nama pena, Dim. Seinget Papa,
ceritanya gelap. Bagus kok, rencananya mau dimuat. Tapi, sekarang lagi antri
dong naskahnya,”
“Gelap? Nuansa nggak
terang gitu, Pa? Mungkin iya, soalnya kemarin Dimas baca sekilas cerpen yang
dia ketik di kelas kayak gitu. Kasihan lho. Oh ya, Pa, Rena baik banget. Dia
anak yang paling teliti EYD dan hemat kata di antara anggota ekskul jurnalistik
sekolah, Pa,” tutur Dimas berbinar-binar.
Ayah Dimas
manggut-manggut dan memandang anak lanang tunggalnya. Ia sadar bahwa
bunga-bunga sedang mekar di hati Dimas. Jarang sekali Dimas menyebutkan nama
anak perempuan di rumahnya.
***
5 Mei 2012, cerita pendek
Rumah Bui yang ditulis Rena berhasil dimuat. Seminggu kemudian, Rena senang
sekali ketika mengambil honorarium di kantor Magelang Pos.
Sehabis pemuatan cerpen
perdananya, hampir setiap pagi Rena dikirimi puisi oleh seseorang. Rena tak
habis pikir, untuk repot-repot menulis puisi untuknya yang diselipkan di laci
mejanya? Buang-buang waktu saja.
***
“Sekarang banting stir
ke sastra, Dim?”
“Enggak, Pa. Cuma
baca-baca aja, kok!” Dimas mengelak.
“Zaman SMA Papa kalo
lagi jatuh cinta juga gitu, Dim. Ngaku aja hayoo..”
***
Dimas melihat perubahan
air muka Rena. Sudah agak mekar, cerah. Rena semakin rajin di depan monitor dan
kecanduan untuk menulis, menulis, dan menulis.
“Ren, lagi ngapain?”
Dimas menghampiri kelas Rena setiap istirahat pertama, masih seperti yang dulu.
“Ngetik,” mata Rena
begitu serius di depan monitor.
“Cih, nggak berubah.
Berubah ding, bedanya sekarang udah cari target honorarium ya,” tebak Dimas.
“Nggak juga. Eh, Dim, makasih
ya.” Rena menghentikan ketikannya sejenak.
“Buat apa?” Dimas
membulatkan bola matanya, takjub.
Rena menatap Dimas. “Apapun
yang kamu lakukan, makasih udah menolongku untuk mencari napas. Setidaknya akan
ada kenangan tentang seorang teman, ‘kan?”
Untuk pertama kalinya,
Rena tersenyum kepada Dimas.
***
Cerpen ini menjadi juara favorit dalam even menulis Tidar Fiction Festival SMA-Mahasiswa se-Jateng & DIY Universitas Tidar, Kota Magelang.
Semangat berjuang :)
0 comments:
Post a Comment
Hello, thank your for the comment!
Have a great day! :)